Auktor Intelektualis, Hantu yang Tidak Pernah Diungkap Pemerintah…

Suasan demonstrasi yang dilakukan buruh di kawasan Pulogadung Jakarta Timur, Selasa (6/10/2020)(Foto: kompas/Walda Marison)

IDTODAY NEWS – Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyebutkan, ada “aktor intelektual” dalam demo penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR saat Indonesia berada dalam kondisi pandemi Covid-19.

Pernyataan mantan Ketua Tim Pemenangan pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014 itu mengingatkan memori tentang istilah “aktor intelektual”.

Istilah “aktor intelektual” belum jelas definisi dari mana. Sederhananya, aktor berarti pelaku dan intelektual bermakna “otak”. Jadi, dapat berarti aktor intelektual ini mengacu kepada otak atau pelaku di balik suatu peristiwa.

Meskipun, penggunaan kata yang lebih tepat adalah ” auktor intelektualis”, yang merupakan terjemahan dari “auctor intellectualis”.

Kata “auctor” di sini lebih dekat kepada “author” atau penulis, sehingga merujuk kepada penggunaan kata untuk orang yang merancang jalannya cerita.

Penulis tidak akan membahas definisi “auktor intelektualis” secara keilmuan, karena bukan bidangnya.

Kembali ke auktor intelektualis, istilah ini populer di Indonesia pasca-Reformasi 1998, ketika itu demo tak henti-henti disuarakan mahasiswa dan masyarakat untuk mengawal agenda reformasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah.

Bukan hanya terkait demo, terkadang istilah auktor intelektualis juga dituding berada di balik peristiwa yang melibatkan tokoh sentral, misal penganiayaan terhadap seorang tokoh. Kadang juga disebut dalam suatu kasus besar, auktor intelektualis di balik megakorupsi, misalnya.

Menurut catatan penulis, pemerintah tidak pernah mengungkap siapa auktor intelektualis yang dimaksud.

Kecurigaan pun muncul, apakah mereka sudah ditangkap secara diam-diam, apakah pemerintah hanya menggertak lawan politik, ataukah mereka tokoh fiksi yang dibuat – buat pemerintah untuk mengalihkan perhatian? Bisa saja.

Setali tiga uang dengan Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut aksi demo penolakan UU Cipta Kerja ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu.

Pernyataan ini kembali lagi membuat framing terhadap aksi tersebut, lagi – lagi tanpa bukti siapa yang dimaksud.

Terlalu dini menyebut aksi demo buruh, mahasiswa, pelajar terkait UU Cipta Kerja ada auktor intelektualis dan penunggangnya.

Kenyataannya, tidak ada tokoh politik yang membuat pernyataan atau klaim terkait demo tersebut, tidak ada tokoh politik yang memimpin demo tersebut, setidaknya hingga saat ini tidak diketahui siapa pemimpin sentral demo tersebut.

Adapun yang terjadi adalah pernyataan dari masing-masing perwakilan, mulai dari BEM Seluruh Indonesia, serikat buruh, civil society, pemuka agama hingga pengamat politik dan hukum.

Aksi damai ratusan mahasiswa di kawasan Tugu Muda, Lawang Sewu Semarang, Minggu (11/10/2020)

Aksi damai ratusan mahasiswa di kawasan Tugu Muda, Lawang Sewu Semarang, Minggu (11/10/2020)(KOMPAS.com/RISKA FARASONALIA)

Hal ini berbeda saat demonstrasi 1998 silam, tokoh politik rutin berorasi, konsolidasi, hingga memimpin jalannya aksi. Dengan keadaan saat ini, demo UU Cipta Kerja agaknya jauh jika disebut aksi tersebut didasari nafsu politik, atau adanya “titipan” maupun bohir yang membiayai seluruh gerakan dalam aksi.

Baca Juga  Geram Kedelai Masih Impor, Bukti Jokowi Dan Kabinet Tak Berbuat Apa-apa

Kecuali, jika tiba-tiba muncul LSM, ormas yang terafiliasi atau politisi yang mengklaim atau ikut menekan secara massif.

Sejauh ini, tidak tampak politisi yang mengklaim aksi tersebut, hanya kalangan civil society, pemuka agama, hingga pengamat yang menyuarakan perlunya UU Cipta Kerja itu ditolak. Apakah mereka yang disebut auktor intelektualis?

Pemahaman penulis, seorang dapat dikatakan auktor intelektualis jika memiliki pengaruh besar untuk menggerakkan massa hingga membiayainya. Karena, tidak sembarang orang dapat mendorong aksi sedemikian besar. Hingga kini penulis belum melihat hal tersebut.

Demo titipan?

Perlu dipahami lagi, mahasiswa adalah pressure group dan agent of change. Mereka biasanya tergerak jika ada kontroversi yang dibuat pemerintah, mereka pengawal sistem, benteng demokrasi.

Kelompok ini melihat persoalan dengan kacamata, apakah berdampak baik ke rakyat secara luas atau tidak. Dan perlu diingat, mereka adalah kelompok terpelajar.

Akan tetapi, yang juga perlu dicatat, dalam manajemen aksi ada dua hal yang menjadi agendanya. Pertama, jika aksi hanya dilakukan sekali atau dua kali, bisa dipastikan itu hanya tes ombak.

Biasanya model seperti ini karena ada “titipan” untuk aksi, bisa dilihat jika tiba-tiba ada demo di depan Gedung KPK ketika ada pejabat yang terjerat, lalu datang massa aksi yang mendukungnya. Seperti itulah.

Baca Juga  Arab Saudi Larang Warganya ke RI, Yang di Indonesia Diminta Segera Pulang Kampung!

Kedua, aksi mengkritisi pemerintah untuk segera mengubah kebijakan. Manajemen aksi seperti ini biasanya digelar bukan sekali atau dua kali, bisa berkali-kali.

Coba kita lihat perbedaan demonstrasi 1998 atau beberapa tahun sesudahnya, demonstrasi digelar hampir setiap hari. Fokusnya saat itu adalah menggulingkan pemerintahan hingga mengawal reformasi.

Demonstrasi terkait isu besar dan kasus korupsi pejabat publik atau tokoh juga dilakukan berkali-kali, sebagai pengingat dan mengawal kasus tersebut supaya publik tetap ingat.

Pemerintah harus bertanggung jawab dengan pernyataan adanya auktor intelektualis dalam demo tersebut. Apalagi, demo tersebut berujung kericuhan yang jelas menimbulkan kerugian baik fisik maupun infrastruktur.

Auktor intelektualis tersebut, jika terbukti dan dipidana, bisa saja terjerat Pasal 160 soal penghasutan atau bahkan Pasal 104 soal makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Thus, jika memang ada auktor intelektualis, silakan proses hukum secara terbuka dan beritahu publik. Jangan biarkan kecurigaan muncul di masyarakat. Harus diungkap siapa di balik demo tersebut, apakah murni karena kegelisahan masyarakat atau memang “titipan”.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, menurut Dahlan Iskan, adalah pemerintah terkuat sejak era reformasi. Buat apa takut mengungkap. Atau jangan-jangan, auktor intelektualis itu hanya sebatas hantu yang digunakan untuk menakuti masyarakat?

Sumber: kompas.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan