Muncul Usulan Jokowi Jadi Presiden Bersama Prabowo, Refly Harun: Sekarang Ada Penghulu Kampret Baru

Refly Harun (kanan) yang turut mengomentari soal hasil analisa dari Muhammad Qodari yang percaya bahwa jika Jokowi-Prabowo (kiri) maju di Pilpres 2024 akan memunculkan stabilitas politik di Indonesia. /Kolase foto dari ANTARA dan YouTube Refly Harun

IDTODAY NEWS – Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari meyakini bahwa jika Joko Widodo (Jokowi) maju lagi sebagai presiden 2024 bersama Prabowo Subianto akan menciptakan lingkungan politik yang baik.

Qodari menyampaikan kemungkinan Jokowi maju jadi presiden untuk ketiga kalinya, tetapi kali ini dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai Wakil Presidennya.

“Tentu saja hal ini memerlukan amandemen UU Dasar 1945,” ucapnya.

Meski begitu, Jokowi telah menegaskan tidak akan mengkhianati janjinya kepada negara karena sudah diatur sesuai amandemen UUD terkait periode masa jabatan maksimal Presiden.

“Skenario tersebut bisa saja terjadi untuk menciptakan stabilitas politik sekaligus menghindari pemilu yang mengerikan seperti pada Pilpres sebelum-sebelumnya yang melahirkan dikotomi Cebong dan Kampret,” tambah Qodari.

Menanggapi hal tersebut, pakar hukum tata negara Refly Harun menolak ide dari magister ilmu pemerintahan Essex University Inggris tersebut.

Refly Harun menilai walaupun mereka berdua dipasangkan, tidak akan menyelesaikan masalah dan tetap memunculkan kelompok oposisi yang sama.

Baca Juga  PAN: Nyapres Itu Urusan Serius, Bukan untuk Cari Perhatian

“Menurut saya tidak menyelesaikan masalah juga kalau Jokowi berpasangan dengan Prabowo, karena akan muncul kelompok oposisi yang sama,” tuturnya.

Meskipun saat ini pendukung setia Prabowo sudah meninggalkannya, Refly Harun menyampaikan akan tetap ada kelompok-kelompok kritis di luar pemerintahan.

“Tetap saja ada kelompok-kelompok di luar pemerintahan yang sekarang kritis terhadap pemerintahan yang ada dan merasa tidak puas dengan pemerintahan Presiden Jokowi. Karena sekarang Prabowo pun sudah dipersepsi sebagai bagian dari pemerintahan,” ucapnya.

Refly Harun menegaskan dikotomi cebong dan kampret akan tetap ada, karena sekarang kampret memiliki presiden baru yaitu Anies Baswedan.

“Tadinya kita berpikir bahwa dengan menyerap Prabowo dalam pemerintahan, dikotomi itu sudah hilang, enggak! Bahkan sekarang rupanya ada penghulu kampret baru, and then his name is Anies Baswedan, kan seperti itu,” tuturnya seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari kanal YouTube Refly UNCUT, Jumat, 18 Desember 2020.

Baca Juga  PAN Setuju Amandemen UUD 1945 di Evaluasi, Zulkifli Hasan: Mau Dibawa Demokrasi Ini

Jadi orang sekarang, ucap Refly Harun, justru melihat Anies Baswedan sebagai penghulu kampret dan dia akan dibutuhkan, kenapa?

“Kan kadang-kadang orang punya alasan untuk menakut-nakuti pemerintahan yang ada mengenai bahaya radikalisme, bahaya ekstrem kanan misalnya,” ucapnya.

Oleh karena itu, masyarakat harus memiliki sosok yang bisa mewakilkan mereka untuk menghadapi pemerintahan.

“Karena itu harus ada yang namanya the common enemy, musuh bersama itu haruslah orang yang bisa mengancam, Anies Baswedan salah satu orang yang bisa mengancam konstelasi politik 2024,” tuturnya.

“Kalau Ganjar kan dianggap satu kubu dengan Jokowi dan juga Prabowo, yaitu kubu kiri kan, kiri luar istilahnya. Sementara Anies Baswedan, Ridwan Kamil, itu bisa masuk ke dalam perkubuan yang kanan, atau tengah kanan,” sambung Refly Harun.

Refly Harun tetap menyarankan presidential threshold dihilangkan agar kondisinya tidak seperti sekarang yang semua partai diborong oleh satu kekuasaan sehingga hanya menghasilkan satu Paslon di Pilpres.

Baca Juga  Gerindra Klaim Prabowo Berperan di Balik Kepulangan H-RS

“Jadi menurut saya, seharusnya yang perlu dihilangkan adalah presidential threshold, menghilangkan presidential threshold itu membuat pencalonan jauh lebih cair, sehingga sekat-sekat ideologi itu jauh lebih cair lagi,” ucapnya.

Sebelumnya, Muhammad Qodari juga menyebutkan bahwa sosok Jokowi dan Prabowo merupakan representasi atau simbol dari pengelompokan di masyarakat Indonesia hingga pada momentum Pilpres 2019 terlahir istilah cebong dan kampret yang bertahan sampai saat ini.

Jika keduanya bergabung, maka diyakini tidak ada lagi dikotomi cebong dan kampret pada Pemilu mendatang.

“Makanya kemungkinan semacam itu bisa saja terjadi, yaitu demi menjaga stabilitas dan menghindari Pemilu Presiden yang mengerikan, di mana terjadi pembelahan seperti halnya cebong dan kampret di Pilpres 2019,” ujar sarjana psikologi UI tersebut.

Sumber: pikiran-rakyat.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan